Rabu, 14 September 2011

Melisa : Gadis Dengan Senyum Sambal Part 2

Perlahan-lahan Bis ku berjalan menjauh dari semua tempat yang pernah memberikan kesan kepadaku. Kami menumpang bis Karona tujuan Terminal Rajabasa, salah satu terminal terbesar di Propinsi Lampung, Terminal yang sangat di takuti karena kerawanannya. Kondektur bis ini adalah seorang Jawa yang menggunakan logat lampung, “ Basa-basa-basa…! Begitu dia berteriak ketika melewati segerombolan orang di pinggir jalan. Aku masih terdiam dan tak memperhatikan apapun, pandangan ku tertuju ke Sebuah bangunan sekolah, ketika bis ini melewatinya. Yah… sekolah Menengah Pertamaku, terlintas bayangan-bayangan teman-teman ku. Amir mahdum dengan senyumnya yang manis, seorang playboy cap kadal dikelas, hampir seluruh siswa perempuan jatuh cinta padanya, nasibnya lebih baik dari pada aku. Gunawan, temanku yang polos dan mempunyai penyakit aneh yang tidak pernah kami mengerti sampai saat ini, Erik Maramos anak seorang penjual emas di kotaku, penampilannya yang rapi dengan ciri khasnya menggunakan Jam G-Shock berukuran besar, jam tangan favorit kami pada saat itu, dan Maryono, seorang anak blantek (Penjual) sapi di kampungku, berperawakan kecil dengan rambut keriting dan giginya terlihat kuning bila dia tersenyum, dan dia adalah temanku yang jarang sekali tersenyum dikelas, entah mengapa. Ku ucapkan pesan lirih dalam hatiku untuk Melisa ”Selamat Jalan Melisa, Sekarang kamu kelas II, jadilah yang terbaik dikelas, ku yakin kelak kita akan bertemu kembali”. Tak terasa air mataku menetes, jatuh melewati kerutan tipis di pipiku.

Lamunanku terhenti ketika kami harus berganti bis lain, bis jurusan pelabuhan Bakauheni, aku masih belum tau kemana arah tujuanku yang sebernarnya, yang ku tau, aku akan disekolahkan di Jakarta. Aku masih bertanya, kenapa aku harus ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah, harus meninggalkan orang-orang yang sangat ku cintai? Aku adalah seorang anak petani Jawa miskin yang tinggal di dusun kecil, dusun Penawarjaya, nama yang unik untuk sebuah dusun. Masa kecilku tak seindah teman-temanku yang lain, aku harus membantu orang tua ku di ladang ketika selesai sekolah, mencari makanan untuk 2 sapi ku, harta keluarga kami yang tersisa serta mencari sisa-sisa panen singkong di ladang orang lain yang aku kumpulkan dan aku jual ke pabrik Singkong, hasilnya sebagian aku tabung dan untuk uang saku yang ku belikan nasi uduk di belakang sekolah.

Kedua kakakku tak tamat sekolah, karena orang tuaku tak sanggup membiayai mereka, padahal mereka ingin sekali bersekolah dan menuntut ilmu setinggi mungkin. Kenyataan yang sungguh tidak adil, banyak anak-anak orang mampu yang hidup berkecukupan, namun tak pernah menggunakan masa sekolah mereka dengan baik. Huff… andai kami jadi mereka!

Cuaca laut hari ini cerah, tapi tak secerah isi hatiku, Kapal Roro Menggala mulai meninggalkan dermaga, meninggalkan pulau Sumatera, meninggalkan semuanya, tapi hatiku masih tertinggal untuk Melisa.
Melisa adalah anak kedua dari keluarga Keturunan suku Lampung, orang tuanya mempunyai Toko Obat di tengah-tengah pasar Kecil di Unit II, sebuah tempat dimana bisnis di kota kami berjalan. Papanya seorang pekerja keras dan mamanya adalah seorang wanita yang taat beragama. Mereka adalah keluarga yang bahagia dan berkecukupan.

Keluarga Manado Yang Besar
Matahari baru saja muncul dengan senyuman cahaya kuningnya di ufuk timur, embun yang menempel di dedaunan perlahan menghilang, aku baru saja bangun, setelah semalam menginap di rumah teman pak Kris di bilangan Bekasi. Kami bersiap – siap untuk melanjutkan perjalanan. Hari ini pertama kalinya aku melihat kota Jakarta, kota yang mewah dengan orang-orangnya yang cantik - tampan dan putih-putih kulitnya serta makan nasinya yang sedikit, yang sering kulihat di TV. Kami menumpang Bis Jurusan Bekasi - Kampung Rambutan, sepanjang perjalanan kepala ku tak hentinya melongok keluar jendela melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang di angkasa, tidak seperti di Tulang Bawang, kota asalku, hanya Jembatan Cakat bangunan yang paling mewah. Mungkin kalau acara tukul sudah ada pada waktu itu, “ Wong Ndeso” sebutan yang cocok untuk ku.

Kami berhenti didepan gerbang besi berwarna kuning dengan tulisan “ ASRAMA PONDOK TARUNA “ aku mulai berfikir, apakah aku akan tinggal di asrama? Kenapa aku di kirim ke tempat ini oleh orang tuaku?, belum juga terjawab pertanyaanku, seorang pemuda tanggung membukan pintu gerbang untuk kami. Kami pun masuk menemui sang pemilik Asrama, Liudyawati Posumah, begitu ibu paruh baya itu di panggil. Beliau menyambut kami dengan senyuman hangat, senyuman yang jauh berbeda dengan senyum Melisa.
Akupun menjadi keluarga besar asrama pondok taruna dengan penghuni lebih dari 90 orang, bisa dibayangkan, betapa banyak keluargaku sekarang.

Bersambung Bagian 3 (Surat Untuk Melisa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar